Dahsyatnya Daya Rusak “Politik Ayat dan Mayat”
“Pilih pemimpin yang seiman! Jangan pilih pemimpin kafir!”
Ajakan
itu begitu kuat disuarakan ketika rangkaian Pilkada DKI Jakarta 2017
lalu berlangsung. Tidak hanya sekedar di jalanan. Atau di
warung-warung-warung kopi misalnya. Namun imbauan sesat itu diserukan
begitu lantangnya di tempat-tempat ibadah, tempat yang semestinya bersih
dari ucapan-ucapan rasis seperti itu.
Lalu
menyebarlah ke mana-mana. Di lorong-lorong sempit ibu kota, di kawasan
pemukiman warga, hingga di seluruh sudut kota Jakarta, membicarakan hal
yang semestinya sudah tidak perlu dibicarakan lagi itu. Apa yang
terjadi? Akhirnya warga ibu kota terbelah. Polarisasi yang cukup tajam
tidak terhindarkan. Bahkan hingga saat ini, sesungguhnya belum juga
pulih total.
Kurang lebih dua tahun setelah
Pilkada DKI berlangsung. Dan kurang lebih dua tahun setelah Anies
Baswedan dan Sandiaga Uno (yang belakangan mengundurkan diri karena maju
di Pilpres 2019 mendampingi Prabowo), Jakarta yang dipimpin oleh
pemimpin bukan kafir itu, Jakarta yang dipimpin oleh pemimpin “seiman”
itu, bukan makin maju, justru semakin kacau.
Jika
seandainya Jakarta menjadi lebih baik, menjadi lebih bermartabat,
menjadi lebih maju dan menjadi lebih bahagia warganya, mungkin kita akan
sedikit terobati, sekalipun politisasi agama untuk merebut kursi
pimpinan sebuah daerah, sebagaimana dipraktikkan Anies-Sandi, tetap
tidak dapat dibenarkan. Faktanya? Anies gagal. Ia tidak mampu mewujudkan
janjinya.
Suatu kali, Anies pernah berjanji
akan menjadikan langit ibu kota seperti di Puncak Bogor. Namun
lagi-lagi, itu hanya sebatas wacana. Keahlian Anies memang di situ. Ia
cukup pandai berkata-kata. Dalam setiap ucapan yang keluar dari
mulutnya, kita akan mendengar serangkaian kata-kata yang cukup indah,
lembut, dan sejuk bak hembusan angin surga.
Tapi
lihatlah udara Jakarta beberapa hari terakhir ini. Tidak lagi biru.
Namun menghitam. Hingga terasa sulit rasanya membedakan Jakarta di pagi,
siang, dan sore hari. Jakarta bahkan tercatat sebagai kota dengan
polusi udara tertinggi di dunia saat ini. Warga mengeluh. Sebab keadaan
itu berakibat buruk pada kualitas kesehatan penduduk Jakarta.
Apa yang dilakukan Anies? Tidak ada. Bilapun ada, solusi yang ia tawarkan terkesan ngawur dan tidak nyambung.
Ia akan menambah jumlah alat pencatat polusi udara di Jakarta. Solusi
apa itu? Belum lagi wacana untuk menanam tumbuhan lidah mertua di
gedung-gedung di Jakarta. Bahkan konon, ia telah menganggarkan miliaran
rupiah untuk itu.
Untuk polusi udara seakut di
Jakarta, lidah mertua bukanlah solusi tepat. Sekalipun tanaman tersebut
diyakini mampu mengurangi polusi, namun bukan seperti polusi di Jakarta.
Jika seandainya kebijakan itu tetap dilaksanakan, hal itu tidak
semestinya menjadi solusi pokok. Tugas Anies adalah memutus akar
permasalahan yang sudah membuat warga resah itu.
Tapi,
setidaknya hingga saat ini, sepertinya Anies masih belum menemukan
solusi tepat untuk mengatasi udara Jakarta yang sangat tidak bersahabat
itu. Anies justru sibuk “curiga-mencurigai.” Dalam pemberitaan di
berbagai media kemarin, Anies menyebut bahwa tingginya polusi udara di
Jakarta ia curiga karena aktivitas kenderaan berat di jalan tol.
Lucu sekali! Sudah sejak dahulu kala kenderaan berat melintasi jalan tol itu. Kenapa baru mempersoalkannya sekarang? Ngeles
lagi. Selain kerapkali curiga terhadap sesuatu hal, keburukan lain
dari mantan Mendikbud itu adalah suka menyalahkan orang lain, termasuk
menyalahkan kebijakan para gubernur pendahulunya. Ia seakan-akan orang
paling benar.
Jakarta memang benar-benar
memprihatinkan saat ini. Selain polusi, sebutlah masalah sampah. Wah!
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, ketika menerima kunjungan anggota
DPRD DKI Jakarta baru-baru ini, ia nampak begitu terkaget-kaget sambil
sesekali menggeleng-gelengkan kepala, mendengar fakta yang dibeberkan
oleh para wakil rakyat dari ibu kota itu.
Untuk
anggaran pengelolan sampah, Pemprov DKI Jakarta menggelontorkan dana
yang cukup besar, Rp. 3,7 triliun. Sementara anggaran kota Surabaya
hanya Rp. 30 miliar: ratusan kali lipat dari anggaran yang dikelola
Anies. Namun dengan Rp. 30 miliar tersebut, Tri Risma mampu menjadikan
Surabaya menjadi sebuah kota modern berkelas internasional.
Sampah
kota Surabaya dikelola secara baik. Bahkan pada November tahun ini, di
kota pahlawan itu, sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) akan
segera beroperasi. Lalu kenapa Jakarta yang anggaran pengelolaan
sampahnya hampir 4 triliun rupiah itu tidak mampu berbuat banyak? Karena
kemauan dan kapabilitas pemimpinnya memang rendah.
Jakarta
kini berubah menjadi tempat sampah raksasa, kumuh, dan bau. Parit-parit
yang sebelumnya bersih dan tertata rapi, kini berubah menjadi kolam
sampah. Pun sungai-sungai di Jakarta, setali tiga uang. Tempat
pembuangan akhir sampah juga menjadi masalah yang cukup krusial bagi DKI
Jakarta saat ini. Lalu ke mana uang rakyat yang jumlahnya triliunan
itu?
Belum lagi setiap kali turun hujan, maka
Jakarta akan segera berubah menjadi kolam renang raksasa. Begitupun
tingkat kejahatan semakin meningkat. Apa lagi? Ada banyak trotoar di
Jakarta kini berubah fungsi menjadi tempat berjualan bagi para pedagang
kaki lima, yang mengakibatkan semakin tidak terkendalinya kemacetan lalu
lintas.
Dan satu lagi, kualitas birokrasi Pemprov DKI kian merosot tajam. Dulu ada yang disebut dengan lelang jabatan
untuk jabatan kepala dinas. Dan, proses pelelangan itu benar-benar
dilaksanakan secara jujur, terbuka, dan akuntabel. Dengan cara demikian,
muncul pimpinan-pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang
berkuaitas dan berintegritas.
Namun apa yang
terjadi di era Anies? Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ketua
Komisi ASN, Sofian Effendi baru-baru ini, menanggapi maraknya jual beli
jabatan di berbagai daerah saat ini, bahwa di DKI Jakarta untuk dapat
menduduki sebuah kursi kepala dinas, dihargai sekitar Rp. 5-6 miliar. Wow! Gede banget! Untuk siapa uang itu? Silahkan dijawab sendiri?
Apa
yang hendak saya sampaikan lewat tulisan ini? Bahwa hendaknyalah ketika
memilih pemimpin bukan berdasarkan kesamaan suku, agama, ras, atau
golongan semata. Pilihlah pemimpin berdasarkan track recordnya. Berdasarkan kinerjanya, serta berdasarkan kualitas moral dan karakternya.
Apa
yang terjadi di Jakarta, bukan begitu. Anies berhasil duduk di
takhtanya karena telah mempolitisasi ayat-ayat Alquran sebagai alat
untuk menyerang lawannya. Anies bahkan telah mempolitisasi orang yang
sudah meninggal (mayat). Kita masih ingat bagaimana mayat nenek Hindun
tidak disalatkan hanya karena ia memilih Ahok-Djarot.
Sekarang
lihatlah kualitas pemimpin yang dipilih hanya karena seiman itu. Luar
biasa jelek. Dan satu hal yang pasti, daya rusaknya juga begitu dahsyat.
Salam Indonesia satu!
https://seword.com/category/politik
Di Tulis Oleh :
@PurbaHermanto
ayo bergabung dengan saya di (D(E(W-A)P)K)
ReplyDeletemenangkan uang jutaan rupiah dengan menguji keberuntungan kalian
hanya dengan minimal deposit 10.000
untuk info lebih jelas segera di add saja Whatshapp : +8558778142
ditunggu lohhh add nya... terima kasih waktu nya ^-^