Kebaya dan Batik untuk Menangkal Busana "Aneh" dari Luar

Dalam sebuah koran harian terbitan Jakarta hari ini, Rabu 24 Juli 2019, pada halaman depan disuguhkan gambar berupa sosok lima wanita (cantik) berkebaya. Berdasarkan keterangan gambar (caption) mereka itu karyawati sebuah perusahaan penerbitan besar, yang sejak Selasa kemarin (23 Juli 2019) mulai mengampanyekan pemakaian busana kebaya bagi karyawati dan busana batik bagi karyawan, setiap hari Selasa.

Bagus sekali ide ini, dan semoga diikuti semua perusahaan, kantor-kantor pemerintah atau lembaga-lembaga pendidikan yang ada di seluruh Indonesia. Bukan apa-apa, sejak beberapa tahun ini masyarakat kita kelihatannya sedang digiring oleh pengagum budaya luar supaya kita melupakan dan membenci budaya kita sendiri. Budaya Nusantara yang adiluhung itu hendak dihapuskan dari tanah air kita oleh pihak-pihak tertentu yang mabuk agama. Hal ini tidak boleh dibiarkan, dan salah satu cara adalah dengan mengenakannya sesering mungkin.

Tapi apakah ide ini akan efektif bagi bangsa ini untuk mencintai dan menghargai warisan leluhurnya? Rasanya tidak terlalu menjamin. Soalnya tidak ada dalil dalam agama yang dapat dipakai untuk mendorong orang-orang supaya mencintai dan menggunakan busana khas peninggalan leluhur. Jadi kebanyakan kita hanya mengenakan pakaian khas budaya Nusantara itu cuma sekadarnya saja. Hanya kalau sedang ingin memakainya. Misalnya ketika ada seruan dari pimpinan untuk mengenakan pakaian adat setiap hari tertentu, bisa saja diikuti dengan antusias selama beberapa kali. Setelah itu kembali mengenakan busana yang biasa.

Beberapa tahun lalu ada himbauan untuk mengenakan batik setiap hari Jumat. Namun belakangan ini himbauan semacam ini tidak terlalu digubris lagi. Apalagi kebaya bagi kaum perempuan, yang cara mengenakannya tidak seringkas atau semudah mengenakan busana biasa. Tetapi sekalipun demikian, seruan semacam ini sangat perlu digaungkan dan dilaksanakan dengan serius, mengingat akhir-akhir ini semakin banyaknya orang yang malah lebih mencintai budaya dari luar dengan alasan keagamaan.

Penyakit kebanyakan masyarakat kita, kalau sesuatu itu sudah dikait-kaitkan dengan agama, apa pun akan dilabrak demi mempertahankannya sekalipun sebenarnya ngawur. Orang mengatakannya “mabuk agama” karena sudah menuhankan pakaian. Bagi orang yang sudah mabuk agama, "pakaiannya" lebih mulia dari orang yang berbeda dengan dia. Tentu beda dengan busana khas Barat yang sekalipun dari luar, kita tidak harus memujanya dan menjadikannya sebagai hal yang sakral, mau dipakai atau tidak, suka-suka aja.

Sangat beda dengan orang-orang yang sudah taraf mabuk agama, mudah mengharamkan budaya sendiri, dan menjadi pemuja budaya bangsa lain. Soalnya mereka dipengaruhi dengan ayat-ayat, jaminan masuk surga, kalau berpakaian seperti ini dan itu. Walhasil pakaian khas nenek moyang dan budaya asali pun jadi haram.

Nusantara kita dihuni ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki warisan budaya dari nenek moyang. Ada yang berupa tari-tarian, bahasa, musik tradisional, upacara adat, dan lain sebagainya. Dan semuanya sangat luar biasa indah dan mengagumkan. Saya bahkan berani mengatakan bahwa tiada budaya bangsa mana pun di muka bumi ini yang dapat mengimbangi keluhuran budaya-budaya yang lahir di Nusantara. Dan merupakan fakta yang tak terbantahkan, budaya Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran agama-agama yang sejatinya berasal dari luar.

Mungkin saja ada sesuatu tradisi suku bangsa tertentu yang tidak nyambung dengan ajaran agama. Tetapi hal itu bisa saja dikoreksi, bila perlu ditiadakan dari kehidupan dengan melabelinya “haram”. Yang pasti ada banyak unsur-unsur budaya yang dapat disinkronkan dengan agama. Salah satu contoh, Wali Songo menyebar agama dengan memanfaatkan budaya setempat berupa wayang. Tidak salah, sebab pertunjukan wayang itu punya fungsi juga sebagai media—media tradisional—menyebarkan informasi (yang baik dan positif) kepada masyarakat luas.

Maka mari kita amalkan ajaran agama yang menuntun kita ke arah yang benar yakni menyebarkan kasih dan perdamaian ke seluruh umat manusia. Pemuka agama yang benar, dalam setiap khotbah/ceramah senantiasa mengajarkan atau menganjurkan hidup dalam harmoni dan kedamaian dengan sesama manusia. Tidak ada yang lain! Kalau ada yang berperilaku sebaliknya, yakni selalu menghamburkan sumpah serapah, memaki-maki orang yang berbeda dengannya, memprovokasi, menyebar fitnah, dan mengumbar kata-kata yang tidak senonoh, itu jelas manusia sesat!

Jangan mau ditipu dan dibodohi oleh oknum-oknum semacam ini, sebab pendengar/umat yang tetap bodoh itulah sumber penghasilan / popularitas mereka. Oknum-oknum itu sangat berkepentingan menjadikan banyak orang tetap bodoh, supaya ada pengikut yang bisa dimanfaatkan atau digerakkan sewaktu-waktu, melakukan demo misalnya. Cara efektif menguasai massa adalah memanfaatkan agama, seperti kata orang bijak: “Jika ingin menguasai orang-orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu itu dengan agama”.

Dalam setiap perhelatan politik, seperti pilkada, pemilu atau pilpres, oknum-oknum agamawan macam ini pasti panen besar. Sebab dia akan bersekongkol dengan politikus bejat ambisius yang mengharapkan dukungan massa riel. Maka massa-massa yang bodoh ini pun digerakkan untuk berdemo sehari atau berhari-hari dengan imbalan sekadar uang untuk ongkos pulang, dan nasi bungkus.

Supaya tidak mudah dibodohi, belajar mencintai budaya negeri sendiri mungkin bisa dijadikan langkah awal, seperti bunyi iklan: cintailah produk-produk INDONESIA!

Tweet

Jangan sampai ketinggalan postingan-postingan terbaik dari Blog Opini. Berlangganan melalui email sekarang juga:

Atau sobat juga bisa follow Blog Opini dengan mengklik tombol di bawah ini:

Artikel keren lainnya:

Ditulis oleh LEHNDELOG pada tanggal Tuesday, July 30, 2019