Peringatan
keras bagi orang-orang ‘brengsek’ untuk memperbaiki diri, bertobat, dan
minimal mengurangi kebrengsekannya bila kelak seorang presiden baru
berkuasa. Mereka yang ‘brengsek’ pertama-tama harus menyadari bahwa
dirinya brengsek, dan gara-gara dia berserta kelompoknya negeri ini
‘menjadi seperti sekarang ini’. Kalau tidak mau mengubah diri patutlah
mereka ‘dienyahkan’. Apa pasal? Begini ceritanya:
Ditengah
perdebatan panas berbagai isu yang bernuansa politis maupun nonpolitis,
pilih Jokowi atau Prabowo dengan berbagai warn-warni peristiwa maupun
dinamikanya, muncul ungkapan ‘tegas’ seorang Rizal Ramli (RR), mantan
Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, sebagai berikut:
"Hari
pertama jadi Presiden saya akan tangkap 100 orang paling 'brengsek' di
Indonesia. Kita buang ke pulau Malaria di Indonesia Tengah. Udah ada
ancer-ancer nanti kita tentukan. (Disana) banyak nyamuk malarianya"
tutur Rizal Ramli pada wartawan di Balai Kota, Jumat, (20/4/2018).
Betapapun
mengejutkan, pernyataan itu luar biasa ‘bagus-berani dsan orisinal’
yang harus diapresiasi. Minimal demikianlah tanggapan imajinatif Bang
Brengos yang tak seberapa meyakinkan itu. Di kepalanya, RR ‘memang beda’
-serupa slogan tv dengan Karni Ilyas sebagai sosok sok netralnya- walau
mungkin ya ‘beda-beda tipis’ dengan para cerdik-pandai maupun politikus
serta public-figure lain yang begitu mumpuni. Sayangnya mereka sungguh
tak berdaya untuk berperan membawa bangsanya ke arah yang mereka
idealkan sendiri.
Komentar Bang Brengos didasari oleh pemikiran fiktifnya, sebagai berikut:
Pertama,
‘bagus’ karena menggunakan angka seratus orang ‘brengsek’. Bandingkan
dengan pernyataan seorang Tiongkok tempo hari yang memakai angka seratus
juga. Ia dengan gagah minta disediakan seratus peti mati. Sembilan
puluh sembilan untuk para koruptor, dan satu untuk dirinya sendiri bila
korup.
“Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya
gunakan untuk mengubur para koruptor, dan 1 untuk saya kalau saya
melakukan tindakan korupsi” Itulah ucapan Zhu Rongji, Perdana Menteri
Republik Rakyat Tiongkok ke-5, antara tahun 1998 dan 2003, yang
melegenda dalam memberantas korupsi.*
Pasti saja
RR tidak pernah khawatir bahwa dirinya termasuk dalam seratus orang
‘brengsek’ itu. Karena memang dia sendiri yang membuat kriteria.
Artinya, ia lebih percaya diri dibandingkan Zhu Rongji.
Satu lagi, angka seratusnya RR tidak ikut-ikutan angka seratus pada buku “Orang-orang yang berpengaruh di dunia”.
Pada
tahun 1978, Michael H. Hart yang merupakan seorang keturunan Yahudi
menuliskan buku berjudul “The 100 “. Buku tersebut memuat 100 tokoh yang
memiliki pengaruh terkuat dalam sejarah manusia. Buku yang banyak
diperdebatkan tersebut konsepnya secara luas banyak ditiru.**
Demikianpun
penetapan angka seratus dengan kriteria ’brengsek’ khas RR mestilah
dengan tolok ukur yang akurat. Sejauh dan seberat apa ‘kebrengsekan’
mereka, terlebih kata brengsek itu oleh koran diberi tanda petik
tunggal. Apakah si ‘brengsek’ itu setara dengan penjahat kelas kakap,
penjahat kerah putih, koruptor, penyelundup, teroris, produsen dan
bandar narkoba, produsen minuman keras oplosan, dan pembunuh berantai?
Dipastikan
RR akan sangat sibuk pada hari pertamanya menjadi presiden kelak. Maka
kita pun boleh berandai-andai. Pada saat rakyat berpesta-pora menyambut
kemenangan, RR justru jatuh pusing karena perhitungannya kurang tepat,
si brengsek boleh jadi kurang atau sebaliknya berlebih dari seratus.
Anggaplah RR pada hari pertama menjadi presiden sudah ber-‘tangan-besi’,
bakal tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam memperlakukan
mereka. Bisa dibayangkan kalau ternyata satu orang ‘brengsek’ saja
dibelakangnya ada sejumlah ormas yang ‘dihidupi’, LSM, jenderal aktif
maupun pensiunan, berapa parpol dan politikusnya, preman dan orang-orang
bayaran, dan seterusnya.
Kedua, ‘berani’ sebab
RR entah dapat bisikan dari mana mendadak sontak mengandaikan diri
menjadi presiden. Tidak salah kalau di dunia pewayangan ada yang namanya
pangsit, eh wangsit atau wahyu, dan dengan modal itu seseorang
tiba-tiba memiliki semua kriteria untuk menjadi raja, ratu, atau sebutan
Prabu. Kemungkinan lain, tiba¬-tiba terjadi keadaan yang sangat gawat
dan hanya satu orang yang mampu mengatasinya, yaitu seorang RR, lalu
dengan mandat seluruh rakyat ditetapkan menjadi Presiden. Dan berbagai
kemungkinan lain yang ekstrim, diantaranya yaitu semua parpol seperti
terhipnotis untuk menjadikan RR sebagai Capres tunggal mereka pada 2019
mendatang.
Luar biasa sekali tentu. RR mendadak
dangdut, eh mendadak Presiden. Lalu terkumpullah seratus orang
‘brengsek’ itu berjajar-jajar, yang diborgol sepasang-sepasang, siap
dikirim ke pulau terpencil yang endemik penyakit malaria. Tapi tanpa
disangka-sangka, dan tak terduga-duga, warga daerah yang disebut sebagai
endemic malaria menolak. Maka terpaksalah dicari daerah lain, pulau
yang lain lagi, begitu seterusnya.
Pada
akhirnya mereka dilepas pada sebuah pulau tak berpenghuni, lalu
diperparah dengan dilepaskan nyamuk-nyamuk malaria tambahan. Namun
sebelum si nyamuk menggigit orang-orang ‘brengsek’, para petugas harus
ekstra hati-hati agar tidak justru lebih dahulu terserang malaria.
Imajinasi dapat ditiruskan ke hal-hal lain. Dan kelak berakhir pada
pernyataan ‘tidak gampang’.
Tetapi
siapa tahu begitu RR jadi presiden semua yang sulit jadi gampang, semua
yang repot jadi lancar, semua yang ribut seketika bungkam terkena jurus
‘kepret’ mematikan
Ketiga, ‘orisinal’ sebab
angka seratus itu baru hari pertama. Bayangkanlah berapa angka yang
muncul pada hari kedua, ketiga, dan seterusnys. Kalau Anas Urbaningrum
telah memulai dengan halaman pertama, dan ternyata tidak ada halaman
berikutnya; jangan-jangan ‘hari-pertama’-nya RR juga berarti hari
terakhir.
Namun
kalau hari kedua dan seterusnya memang ada, dan tiap hari konstan
seratus orang ‘brengsek’, berarti dalam saratus harinya sebagai presiden
bakal ada sepuluh ribu orang ‘brengsek’ yang di-pulau-malaria’-kan. Itu
jelas bukan angka sedikit. Kalau pulaunya memang terpencil, dan sejak
awal sudah disepakati tidak ada pengobatan bagi mereka, maka sepuluh
ribu mayat bakal bergelimpangan di pulau tersebut. Dalam waktu dekat
pulau yang entah dimana itu bakal menjadi pulau hantu paling menyeramkan
pada abad ini.
“Orisinal’ ketika semata sebagai
sebuah gagasan yang sangat idealis. Pertanyaan mendasarnya kemudian
adalah apakah RR yakin jurus itu bakal serta-merta membuat negeri ini
menjadi ‘sempurna’ sebagaimana banyak pemikiran para pengurus parpol
oposisi pemerintah? Apakah segampang dan sesederhana itu? Pak RR harus
menjawab tegas, tuntas, lugas: “Harus. Tidak ada kata ‘tidak’!”
Maka
tahun 2019, atau mungkin 2024, atau bahkan lima tahun berikutnya
Indonesia bubar. . . . ehh, Indonesia subur-makmur-aman –sajahtera. Dan
jika ini yang terjadi kenapa harus menolak kehadiran Rizal Ramli sebagai
presiden. Lupakan semua olok-olok seolah ungkapannya ‘bagus-berani dan
orisinal’ di atas sebagai tidak mungkin, hil-yang-mustahal, mimpi di
siang bolong, dan seterusnya. Lupakan.
Prinsip
pokok harus dipegang, siapapun presidennya, Indonesia ke depan harus
lebih baik-maju-aman-tenteram-sejahtera, dan seterusnya. Satu hal lagi,
ikutilah jejak RR: jangan takut bermimpi, berandai-andai, dan
melambung-lambungkan imajinasi. Terlebih bila kondisi semakin uzur,
sebab itu salah satu penyemangat untuk menjadi panjang umur. Kalau nanti
ada sembilan puluh sembilan orang lagi yang berambisi jadi presiden
mengikuti jejak RR, dan kemudian juga membuat ungkapan yang tak kalah
‘bagus, berani dan orisinal' pasti akan lebih ramailah Pilpres 2019
mendatang.,
Jadi begitulah. Apa mau dikata?
Bang
Brengos terengah-engah saking bersemangatnya menulis cerita rekaan
tentang sosok RR yang mengandaikan dirinya sebagai presiden. Dipastikan
calon presiden yang lain tidak punya ungkapan nan-elok sedemikian. Bang
Brengos baru menyadari perut lapar, lupa belum makan malam. Mak Jumilah
entah sudah ketiduran setelah melihat debat berkepanjangan di salah satu
layar televisi denga pemain tetapnya Mang Fadli Zon yang makin bundar
dari hari ke hari itu.
“Mak. . . ., makan malamnya lupa disiapkan ya?” ucap Bang Brengos dari ruang kerjanya di belakang teras.
Mak
Jumilah ternyata sudah tersungkur di sofa depan layar televisi. Makan
malam tersedia di meja makan sebenarnya, tapi beberapa kali Bang Brengos
dipanggil tidak menyahut juga. Perhatian pensiunan itu agaknya tercurah
penuh pada laptop dengan aneka pikiran yang menjadikannya melupakan
makan malam.**
Sumber : Seword.com
Penulis :
Sugiyanto Hadi
Pensiunan. Menulis untuk merawat ingatan.
Belum ada tanggapan untuk "Rizal Ramli dan Seratus Orang “Brengsek” Jika Jadi Presiden."
Post a Comment